Thursday, August 7, 2008

APA INI KEMERDEKAAN? -sebuah renungan tentang arti kemerdekaan-


Memasuki bulan Agustus ini, kita mulai menyaksikan adanya sesuatu yang berbeda di jalan-jalan, di ujung-ujung gang, dan di jalan-jalan perkampungan. Warna merah putih menghiasi jalan-jalan dan perkampungan. Mulai melangkah lebih jauh lagi pada bulan Agustus, kita mulai saksikan perlombaan-perlombaan digelar di gang-gang perkampungan. Anak-anak larut dalam kegembiraan merayakan peringatan hari kemerdekaan yang sebenarnya belum mereka ketahui. Wajarlah, masih anak-anak. Mereka hanya berkeinginan untuk mendapatkan hadiah dan merasa senang saat mengikuti lomba. Tak ketinggalan dengan anak-anak mereka yang berkompetisi dalam lomba balap karung, makan kerupuk, memasukkan ballpoint ke dalam botol, mengambil koin dari labu, pecah air, membawa kelereng, pecah balon, dan juga memindah belut; orang tua dan kakak-kakak mereka pun juga ikut larut dalam perayaan-perayaan lomba. Ya, semua rakyat dari seluruh lapisan larut dalam perlombaan-perlombaan merayakan hari kemerdekaan RI mulai dari kampung, pedesaan, perkotaan, pabrik, pasar, kantor, dan seluruh pelosok tanah air. Puncak dari segala puncak itu nantinya adalah pada saat peringatan Detik-detik Proklamasi yang akan berlangsung pada tanggal 17 Agustus tepat pada puku 10.00 WIB. Dan sebagai penutup dari perayaan proklamasi kemerdekaan itu nantinya biasanya akan diisi dengan pawai dan karnaval hari kemerdekaan di jalan-jalan perkotaan.

Terlihat sejenak berpikir di ujung jalan sesosok bayangan dengan perawakan biasa memandang jauh seolah tak bertepi. Dari sudut matanya terlihat tatapan yang menerobos memandang relung-relung kehidupan.

Bisik dalam hatinya lirih berkata,”Apa ini yang disebut kemerdekaan?”

Tak berapa lama, ia ayunkan kakinya menuju sebuah masjid. Ia duduk dan terlihat mulai diam merenung tentang sesuatu. Saraf-saraf dalam otaknya mulai bergerak-gerak memutar klise-klise memori sejarah dan analisa. Ia coba mengingat kembali lembaran-lembaran sejarah bangsa dan negaranya tercinta, Indonesia. Ia perintahkan otaknya memutar kembali file-file pelajaran-pelajaran sejarah yang telah ia rekam dari pelajaran di sekolah dan bacaan-bacaan yang dibacanya.

Ia ingat bagaimana dahulu para pejuang-pejuang mengangkat senjata. Memorinya mengenang keperkasaan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien melawan Penjajah. Ia ingat betul bagaimana masyarakat Aceh adalah masyarakat yang paling kuat dalam melawan penjajah. Ia juga ingat betul bagaimana masyarakat Aceh rela memberikan derma mereka untuk membangun Indonesia melalui urunan uang mereka.

Memori sang pria pun tiba-tiba berbalik kepada kenangan cerita sejarah Imam Bonjol yang dikalahkan oleh pengkhianat bangsa, kenangan sejarah Pangeran Diponegoro yang dikhianati oleh orang sebangsa sendiri. Berturut-turut ia ingat kembali akan perjuangan Sultan Hasanudin, Sultan Agung, dan Patimura. Selanjutnya, bayangnya melihat peranan Syarekat Dagang Islam sebagai organisasi pergerakan pertama yang berdiri di Indonesia yang berorientasi pada rakyat secara nasional.

“Bukan Budi Utomo yang pertama kali berdiri” katanya lirih dalam hati.

“Budi Utomo adalah organisasi lokal yang berdiri jauh sesudah berdirinya Syarekat dagang Islam.” keluhnya.

”Ia hanya berorientasi lokal dan tidak memiliki program kerakyatan. Dia hanya kumpulan para bangsawan yang sok pahlawan mengklaim diri sebagai organisasi pertama yang bergerak merebut kemerdekaan. Bohong besar!” batinnya berkata lantang.

Tak berapa lama, ia terbangun dari lamunannya. Ia lihat beberapa meter dari masjid tempat duduknya, sebuah perayaan kemerdekaan. Dengan diiringi musik-musik, terlihat seorang wanita berjoget menyanyikan lagu dangdut, lalu berturut-turut sepasang suami istri berkaraoke bernyanyi tembang kenangan, dan tak ketinggalan seorang bocah berjoget mengikuti gaya joget para penyanyi dangdut di negara ini mengiringi nyanyian. Sang bocah dengan perasaan senang meliuk-liukkan tubuhnya dan memutar-mutar kepalanya. Gaya jogetnya seperti gaya penyanyi yang dikritik oleh Sang Raja Dangdut hingga menangis.

Apa ini arti kemerdekaan?” kata sang pria.

“Mau dibawa kemana bangsa ini? Tak kudapatkan sejarah cerita adanya pesta semacam ini di zaman perjuangan dulu. Dimana sisa-sisa cucuran keringat dan darah serta nyanyian peluru dan dentuman meriam para pendahulu?” kata batinnya.

“Bangsa ini belum merdeka!!! Belum merdeka!!!” bisiknya lirih.

“Bangsa ini masih dibelenggu oleh kekuasan kapitalis, dan dijajah oleh para pengkhianat-pengkhianat bangsa yang mengklaim dirinya nasionalis atau pejuang. Padahal kalian adalah anak keturunan para pengkhianat yang menyerahkan nyawa para pejuang Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, dan lainnya kepada sekutunya, sang penjajah Belanda yang menyebarkan misi suci 3G. Gold, Glory, dan Gospel. Kalianlah yang menipu rakyat dengan jiwa sok nasionalis yang mengahabiskan waktu kalian untuk pesta dan uang semata. Kalianlah yang memfitnah para pejuang dengan sebutan para pemberontak, teroris, dan gerombolan. Kalian yang berkuasa tak beda dengan para pengkhianat bangsa di zaman Perang Paderi, yang justru membawa kehancuran bangsa ini. Bangsa ini belum merdeka! Bangsa ini hanya merdeka jika rakyat ini telah menikmati udara hukum sang Maha Kuasa terlaksana!!!” berontaknya di dalam hati.

Tak kuat melihat perayaan peringatan penuh kedustaan itu, sang pria tersebut pun bangun dari duduknya. Ia ayunkan kakinya segera melangkah menjauh dari riuh-rendah musik peringatan hari kemerdekaan itu. Di ujung lorong jalan, tak berapa lama, ia pun hilang dalam bayangan gelap malam. (fikreatif)

amaduq01@yahoo.com

Solo, 15 Agustus 2007

Sunday, June 29, 2008

Memaknai Ungkapan "Kegagalan Adalah Sukses Yang Tertunda"


Kegagalan Adalah Sukses Yang Tertunda

Cerah indah Mentari pagi

Riang nyaring burung bernyanyi

Keras berjuanglah tanpa henti

Kelak kau raih kemenangan sejati

(tentang pemaknaan arti kerja keras itu harus sustainable)

*******************************

Ketika aku menulis tulisan ini, aku masih menjadi seorang mahasiswa yang duduk di semester 8. Aku masih sangat kecil. Aku bukanlah anak seorang kaya yang tinggal menggunakan jentikan jari tangan memerintah siapa saja untuk melakukan apa saja yang kita inginkan dengan imbalan uang dan harta. Kesuksesan adalah sesuatu yang masih jauh dalam angan-angan hatiku.

Aku hanya berpikir bahwa suatu hari nanti aku akan meraih kesuksesan sebagaimana yang aku inginkan, sukses dunia dan sukses akhirat. Terkesan klise memang. Tapi, saya berpikir, masih adakah cita-cita yang lebih tinggi dari cita-cita saya tersebut? Orang tua dulu sering mengatakan gapailah cita-cita mu setinggi langit di angkasa.

Dalam beberapa kali kesempatan aku bisa membaca buku, melihat kesuksesan seseorang dalam suatu hal, mendengar kesuksesan seorang teman, merasakan aura kesuksesan seorang sahabat, apapun bentuk kesuksesan itu aku mengambil kesimpulan bahwa mereka memiliki satu kata kunci yaitu semangat berjuang atau semangat bekerja keras, atau kalimat dan kata yang semakna dengan itu. Dan mungkin sekali mereka menancapkan dalam hatinya jargon “kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda”.

Seringkali aku berkata dalam hati, “siapa yang membuat jargon itu sih, mana ada kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Bagi aku, gagal adalah gagal. Yang membuat jargon itu pasti orang yang menjaga gengsi aja biar ga malu karena telah gagal.”

Dahulu, seringkali aku akan mengatakan seperti itu. Dan aku rasa, temen-temen juga demikian mungkin. Atau paling tidak kita hanya mengatakan “kegagalan adalah sukses yang tertunda” tetapi sebenarnya kita tidak tahu maksud jargon itu. Seolah kalimat indah tanpa makna.

Namun, setelah aku mencermati ulang kalimat tersebut, aku meralat pandanganku tersebut dan kini menggunakan jargon itu sebagai salah satu prinsip hidup yang agung.

Makna yang terkandungg dalam kalimat “kesuksesan adalah sukses yang tertunda” ternyata memiliki makna yang sangat dalam. Kalimat itu memiliki makna bahwa kita tidak boleh mengatakan kegagalan yang kita alami sebagai kegagalan tetapi sebuah proses menuju sebuah kesuksesan. Ibarat tangga, maka itu adalah tahapan yang harus kita lalui sebelum mencapai puncak tujuan tangga itu. Sehingga, dalam kamus para pejuang yang ingin meraih sukses itu mungkin sama sekali tidak ada istilah gagal. Karena ketika mereka mengatakan gagal, itu berarti perjalanan mereka berhenti dan mereka harus mengulanginya lagi dari awal. Dan kalimat tersembunyi lainnya yang bisa aku tarik dari jargon popular tersebut adalah bahwa sebenarnya kesuksesan itu juga tidak boleh kita pahami sebagai sebuah posisi puncak, yang berarti adalah sudah tidak ada lagi tempat yang lebih tinggi dari kedudukan puncak sukses kita tersebut. Artinya, kita tidak boleh cepat merasa puas dengan kesuksesan yang telah kita raih dan mengiranya sudah tidak ada puncak lagi.

Sebagai seorang pelajar / mahasiswa, kita seringkali berpikir bahwa proses belajar ini akan berakhir. Ketika kita SD, kita merasa bahwa setelah selesai SD maka berarti belajar sudah selesai, padahal belum apa-apa. Masih ada SMP dan SMU. Ketika kita kuliah di perguruan tinggi seolah pendidikan hanya berakhir di strata 1 (S1), padahal masih ada Pasca Sarjana / Master / S2, dan S3 atau Doktoral. Dan sebagian orang pun, ketika mereka punya cita-cita memperoleh gelar S3 dan ternyata dia berhasil, apabila seseorang tersebut menyatakan bahwa puncak pendidikan adalah gelar Doktor, maka sebenarnya dia telah tertipu dengan kesuksesan. Setelah dia meraih gelar doktoralnya itu, dia akan merasa hampa. Kenapa? Karena dia telah merasa di puncak yang sudah tidak ada lagi tempat yang lebih tinggi selain itu. Sedangkan “belajar itu dari mulai buaian hingga liang lahat”.

Thomas Alva Edison konon sebelum menemukan temuannya tentang lampu atau listrik, dia mengatakan bahwa percobaannya menemukan lampu itu setelah mengalami kegagalan sebanyak 9999 kali. Baru setelah yang ke sepuluh ribu, dia berhasil menemukan temuannya.

Seandainya dia berpikir untuk berhenti pada percobaan yang ke 9998-nya, lantas apa yang akan terjadi? Mungkin saja dia tidak akan menemukan lampu dan listrik tidak sampai kepada kita. Itu artinya, Alva Edison tidak berpikir pada percobaan ke-berapa dia akan menemukan temuannya tersebut. Dalam sebuah surat kabar, aku teringat dia mengatakan bahwa 9999 kali kegagalan percobaanya itu ternyata mengandung pelajaran yang bisa ia gunakan untuk menemukan jalan menemukan lampu.

Makna terakhir dari jargon “kegagalan adalah sukses yang tertunda” adalah bahwa jalan kesuksesan tiap individu itu berbeda-beda dan merupakan rahasia ilahi. Kita jangan memiliki perasaan bahwa kesuksesan seseorang bisa diikuti dengan mengekor cara suksesnya seseorang yang lain karena tiap orang memiliki gayanya masing-masing.

Anne Ahira (lahir 28 November 1979), biasa panggil Ahira atau Hira, seorang internet marketer kelas dunia dari Indonesia, CEO Asian Brain (sekolah bisnis online yang ia dirikan) pernah mengatakan bahwa kesuksesan yang dia peroleh saat ini (konon honor tertinggi yang dia peroleh, adalah saat dia memberikan kuliah atau semacam seminar di Amerika Serikat dimana bayarannya untuk berbicara saja sebesar kurang lebih 200 juta rupiah per jamnya) ditempuh dengan perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa. Dia korbankan waktu 24 jam untuk mempelajari internet marketing. Dia korbankan kuliahnya yang harus berantakan untuk satu tujuan mempelajari internet marketing. Dia tinggalkan teman-temannya yang suka having funinternet marketing dengan cara surfing internet di warung internet. Andai saja, dia putus asa dan menyerah pada saat total pengeluarannya untuk warnet pada nominal 100 juta rupiah, kemudian berhenti. Mungkin dia benar-benar menjadi orang yang gagal. Kuliahnya hancur, kesehatannya rapuh, orang tuanya membencinya, dst. dan menikmati dunia. Dan perlu diketahui juga, dia telah mengeluarkan ratusan juta rupiah hanya untuk mempelajari

Mari kita berjuang kawan-kawan!!! (fikreatif) Baca Tulisan-Tulisan Yang Di SINI

Find It